News

Pengusaha Batu Bara RI Dinilai Bisa Ambil Peluang dari Ketegangan AS-China

22 May 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dengan China telah menggangu rantai pasokan batu bara global, Indonesia diperkirakan bisa mendapat dampak positif dalam jangka menengah.

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir mengatakan efek negatif perang dagang AS-China sudah terjadi pada pasar batu bara global. Harga komoditas tersebut mulai terkoreksi.

"Sekarang pembeli dari China yang tadinya mau nego di US$60 per ton sekarang minta turun ke US$55 per ton-US$56 per ton. Jadi memang sudah terasa sih," katanya, baru-baru ini.

Namun, Pandu melihat hal tersebut sebagai dampak jangka pendek saja. Untuk jangka menengah, Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk memanfaatkan ketegangan yang terjadi antara AS dengan China tersebut.

Pasalnya, sebagian industri China akan mengarahkan tujuannya ke Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan industri dalam negeri, permintaan batu bara pun akan meningkat.

"Short term sih rugi, tapi akan ada banyak relokasi ke sini dan medium term-nya positif. Kalau dari sisi batu, permintaan pasti naik karena investasi industrinya juga naik," ujarnya.

Terkait dengan antisipasi terhadap kebijakan China selanjutnya, pihak APBI menjalin kerjasama dengan China National Coal Association. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu selama ini menjadi penggerak harga batu bara global. "Kita ada MoU untuk antara CNC, APBI-nya China. Ini lebih untuk melindungi secara policy. Jadi, kita punya akses langsung ke policy maker di sana," katanya.

Menurut Pandu, kerja sama tersebut juga akan membuat penjualan batu bara Indonesia di China lebih baik. Adapun China merupakan penyerap terbesar batu bara Indonesia.

Sementara itu, harga batu bara acuan (HBA) belum bisa keluar dari tren negatif sejak September 2018 setelah kembali mengalami penurunan bulanan hingga 7,87% pada Mei 2019.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 76 K/30/MEM/2019, HBA Mei ditetapkan senilai US$81,86 per ton atau turun hingga US$6,99 per ton dari HBA April 2019 senilai US$88,85 per ton.

Adapun, sejak September 2018, HBA terus merosot dan belum pernah mencetak kenaikan bulanan. Terakhir kali HBA mencetak kenaikan bulanan pada Agustus 2018 ketika bertengger di level US$107,83 per ton.

Tren penurunan yang panjang tersebut membuat rata-rata HBA dalam lima bulan pertama tahun ini hanya senilai US$89,01 per ton, jauh dari rata-rata HBA sepanjang tahun lalu yang mencapai US$98,96 per ton. Nilai HBA April 2019 tersebut sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2017. Kala itu, HBA ditetapkan senilai US$78,95 per ton.

Sumber